
Sahabat
yang Luar Biasa
Hariani,S.Pd
Mentari pagi itu masih tersipu malu
mengitari bumi, tapi tubuhku yang sigap bercucuran mengeluarkan keringat,
membasahi wajah oval ini. Kaca mata terpaksa ku- lepas beberapa saat, sungguh
resah dan gelisah, tambah lagi penyakit ma’ag yang selama ini menggeluti,
sungguh tak bersahabat, lebih tepatnya
kukatakan kambuh, takbisa ku pungkiri lagi kenyataan ini, sarapan pagi
tak pernah kusentuh. Terburu-buru itulah perasaan yang terus menghantui, ya
jarak rumahku ke tempat aku mengajar lumayan jauh apalagi aku harus mengantar
anak bungsuku yang baru duduk di kelas I Sekolah Dasar ke sekolah setiap
harinya karena anakku hanya mau sekolah jika aku yang mengantarnya belum lagi
aku harus melayani pertanyaan-pertanyaan anak bungsuku yang tidak begitu
penting bagiku tapi jika pertanyaan itu tidak aku jawab wajahnya mulai cemberut
dan susah sekali mengajaknya masuk gerbang sekolahnya tapi dapat juga membahayakan jika aku salah menjawabnya
seperti ketika dia menanyakan “Ma, Hebat pak Polisi atau hebat pak Bram”.
Dengan wajah bingung dan agak membungkuk kutanyakan,”Nak Pak Bram itu siapa?”
Tanyaku dengan pelan. Tapi anakku tertunduk tidak menjawab pertanyaanku. “Ada
apa Bu”, terdengar suara dibelakangku menanyakan itu, lalu kubalikan tubuhku,
kulihat seorang laki-laki berseragam Satpam, “ Oh Tidak ada apa-apa
pak”,Jawabku, dan tanpa sengaja kubaca nama laki-laki itu bernama Bramantyo,
“ah mungkin bapak ini yang dimaksud oleh anak saya tadi.
Setelah itu dengan pelan kubisikan
di telingganya jawabanya. Akhir dengan langkah gagah dan senyum sumringah dia
masuk gerbang sekolahnya itulah salah satu yang
dapat menghambat aku sampai ketempat aku mengajar apalagi jaraknya rumah ketempat
aku mengajar kira-kira kurang lebih 10 kilometer, meskipun begitu tetap
kujalani dengan hati yang ikhlas.
Sungguh takkuat lagi rasanya
mengikuti upacara pagi ini. Tubuhku gemetar, wajahku bak bengkoang. Sejatinya
aku selalu berada pada barisan paling depan. Maklum kebanyakan teman-temanku
enggan baris di depan, terpaksa aku harus mengalah karena usiaku agak tua dari
mereka. Kala itu hanya Bu yanti seorang yang mengerti dengan kondisi badanku
atau mungkin barangkali bisa ku sebutkan suatu perkara kebetulan, betapa tidak
Bu yanti tepat di belakang aku. Ah alasan konyol. Persahabatan kami telah
memakan tahun paling tidak Bu yanti sangat paham tentang expresi aku, disaat
suka maupun duka. Lagi pula, Bu yanti terus memberikan semacam sugesti supaya aku
menjalani upacara ini.
“ Bu Hanna”,
Kalau memang gak kuat, ke kantor saja” Ujar Bu yanti (Seraya mencuil bahu
kiriku).
“Terima kasih,
Bu yanti, aku kuat kok”, jawabku sambil membalikkan pandanganku ke belakang.
“Tapi wajah Ibu Hanna sungguh pucat, tegas Bu yanti!
“Insyaallah,
tuhan masih melindungi aku Bu yanti” ucapku dengan raut wajah yang seolah kuat.
Akhirnya upacara senin yang rutin kami lakukan pun selesai, sedangkan pada saat
itu selaku pembina upacara yaitu langsung dipimpin oleh kepala sekolah yang
baru yang penuh dengan dan
peraturan-peraturan yang seolah-olah membelengguku.
Setelah komandan upacara melaporkan
bahwa upacara selesai guru-guru beserta murid pun bubar, anak-anak dengan
tertib masuk ke kelasnya masing-masing, sedangkan seluruh dewan guru masuk ke
ruang guru dan seperti kebiasaan sebelum masuk ke kelas untuk melakukan
aktivitas mengajar guru terlebih dahulu menyiapkan segala keperluan untuk
mengajar, berbeda dengan bu Yanti dia tidak langsung masuk kelas untuk mengajar
tetapi dia terlebih dulu menghampiriku dengan membawa minyak angin dengan
lembut dia berkata, “ Bu Hanna, coba ibu oleskan minyak angin ini mudah-mudahan
dapat meredakan rasa pusing Ibu”. “terima kasih ya Bu Yanti” sambil ku raih
minyak angin tersebut.
Memang Bu Yanti sangat berbeda
dengan rekan-rekanku yang lain meskipin dia orangnya pendiam seolah-olah tidak
perduli dengan orang-orang sekitarnya bahkan kegiatan sehari-hari di isinya
dengan mengaji di sela-sela kekosongannya dalam aktivitas mengajarnya bahkan
banyak teman yang lain membicarakannya ada yang menganggap positif dan ada juga
yang menganggap negatif, tapi tidak dengan saya dia sahabat yang baik, mudah
diajak bicara bahkan dia tempat saya bertanya jika ada hal yang tidak saya
pahami bahkan saya menganggap bahwa dia sangat terbuka terhadapku, bahkan aku
pun angkat topi dengan kejeniusannya, banyak hal-hal yang aku tak paham menjadi
paham dari yang tidak tahu menjadi tahu yang lebih kagum lagi dia orang yang
ulet, tekun, bahkan keuletannya dapat membuahkan hasil yang luar biasa dia
pernah meraih guru kreatif dan inovatif, guru prestasi, bahkan dia pun pernah
mendapat anugerah resensi novel terbaik dan banyak lagi prestasi-prestasi yang lain
diaraihnya. Bahkan berkat media
pembelajaran Tajwid putar ciptaanya yang sangat membantu dalam proses belajar
mengajar ditempat saya mengajar, bahkan media tersebut dapat digunakan oleh
semua pelajar di Indonesia dan kalangan masyarakat pun yang belum paham dengan
tajwid dapat memanfaatkan media tersebut jadi tak heran kalau Bu yanti
mendapatkan hadiah yang pantas ia terima. Bahkan menurutku Umroh berkali-kali
itu pun tak cukup dengan jerih payahnya, ketekunan dan keseriusannya dalam
memajukan pendidikan di Indonesia. Dia dimataku sahabat yang luar biasa dengan
segudang prestasi dan disertai tutur katanya yang lembut dan dia pun dapat
dikatakan seorang wanita yang sholeha.
Susah untuk digambarkan, sukar untuk
dilukiskan, susah untuk dibayangkan, jika aku dapat sepertinya tapi aku yakin
dengan usaha suatu saat aku pun dapat sepertinya karena secara tak langsung dia
telah menjadi motivator bagiku untuk bisa berprestasi meskipun itu harus
memakan waktu yang cukup lama sebab aku sadar ketekunan dan kejeniusanku pun
jauh berbeda namun aku tetap berusaha untuk menjadi lebih baik.
Dari hari kehari, minggu pun
berganti aku mencoba mengikuti jejak dan saran-saran Bu yanti yang begitu
berlian agar aku tetap bersemangat dan menghasilkan sebuah karya, yang jelas
kita harus berprestasi itulah kalimat yang keluar dari mulut manis Bu yanti
disaat kami bincang-bincang di sela-sela kekosongan waktu mengajar. kalimat
itulah yang selalu tergiang ditelinggaku yang membuatku menjadi semangat untuk
lebih maju.sejak itulah dengan
berlahan-lahan aku coba mengikuti
lomba-lomba dan hasilnya pun dapat kurasakan sekarang, terima kasih sobatku
yang telah memberiku semangat untuk lebih baik dan ku doakan agar kau selalu
dalam lindungan Allah Swt, amin itulah yang selalu kuucapkan dalam hatiku.
Silakan Kritik dan saran yang sifatnya Membangun